Penghapusan Kredit Butuh Aturan Ketat, Hindari Moral Hazard

Banten, PaFI Indonesia — Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024, yang memungkinkan penghapusan kredit macet bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kelautan, dan sektor lainnya. Meski disambut baik, ekonom dan pengamat perbankan menilai langkah ini memerlukan aturan teknis yang jelas untuk menjaga risiko moral yang dapat timbul.
Pengamat perbankan dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Doddy Ariefianto, menilai PP tersebut masih bersifat terlalu umum. Ia menekankan pentingnya peraturan teknis, seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), untuk mengatur kriteria kredit dan mekanisme penghapusan tagihan.

“Cuma memang ini perlu dijaga ya moral hazard-nya ya. Tadi terutama hal-hal itu harus diperjelas dan tegas gitu. Interpretasi daripada PP ini ya. Karena kita khawatir yang kayak begini nih moral hazard,” ujarnya.

Ia mengingatkan, tanpa aturan teknis yang tegas, kebijakan ini bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Penghapusan utang UMKM yang mencapai nominal hingga Rp500 juta harus melalui proses seleksi yang ketat untuk memastikan hanya debitur yang benar-benar layak mendapat manfaat tersebut.

“Iya kalau dihapus orang yang benar, kalau nggak? Kan macam-macam. Kan ada memang individu yang memang bermasalah secara ekonomi dan nggak bisa bangkit lagi, tapi punya niat yang baik. Ada yang niat juga nggak baik, individu karakter rusak. Emang harus di-blacklist,” tegas dia.

Doddy juga menyoroti dampak penghapusan kredit terhadap Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK, yang mencatat debitur bermasalah. Menurutnya, perubahan data SLIK tanpa pengawasan ketat dapat mengganggu stabilitas sistem perbankan.

“SLIK sistemnya OJK. Barangnya OJK. Masa bisa main ubah? Pertanggungjawabannya gimana? Ubah-ubahnya bagaimana? Masa nggak ada skrining sama sekali dari OJK. Kalau main-main hapus aja sembarangan itu, nanti bank amburadul nanti. Pengawasnya di mana?,” imbuhnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, menilai PP Nomor 47 Tahun 2024 sudah cukup kuat secara hukum. Menurutnya, aturan ini merupakan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) untuk memberikan kepastian hukum kepada bank-bank milik negara.

Namun, ia belum tahu apakah perlu dirumuskan Peraturan OJK (POJK) untuk memperkuat PP tersebut. Dia mengatakan hal itu akan dibicarakan dengan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae.

“Menurut saya sih tidak harus, ya. Tapi kamu tanya sama Pak Dian aja. Karena udah ada di perintah Undang-Undang [P2SK] kemudian dari PP, gitu,” katanya seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Penghapusan piutang macet UMKM merupakan langkah strategis untuk mendorong pemulihan ekonomi. Namun, tanpa aturan teknis yang memadai, kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah baru.

Dalam konteks ini, aturan teknis tidak hanya diperlukan untuk melindungi kredibilitas sistem perbankan, tetapi juga untuk memastikan keadilan bagi debitur yang benar-benar membutuhkan bantuan.